Valentine's Day Pumping Heart

Falsafah jawa yang berkaitan dengan nilai-nilai pancasila

1)     Agama tiang kehidupan

        Agama ageming aji
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai arti agama adalah busana yang mulia, atau dapat pula diartikan sebagai agama harus menjadi landasan pandangan pemimpin dalam bertindak.
Agama adalah segenap kepercayaan atau keyakinan serta ajaran dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan atau keyakinan tersebut. A berarti tidak, gama artinya rusak. Jadi, suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya maka membuat masyarakat tidak rusak. Bagi pandangan masyarakat Jawa agama diibaratkan sebagai busana. Untuk kehidupannya, manusia membutuhkan busana yang setiap hari dipakai. Untuk itu, busana yang paling berharga dan mulia adalah agama. Dengan kata lain, agama adalah tiang kehidupan. Sementara ituseorang pemimpin sebaiknya memimpin dengan dasar keagamaan. Bagi masyarakat Jawa, pemimpin adalah juga pemimpin agama. Dengan demikian, rakyat akan menerima berkah atas kedudukannya. Oleh karena itu, pemimpin harus memperhatikan rakyat. Konsep ini sejalan dengan landasan Negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

2)     Allah tempat memohon
       Hidup sangat keras, penuh perjuangan. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu berupaya dan berdoa. Dibawah ini yang dimasukkan dalam kategori ini.

Manekung anungku samadi
       Ungkapan tersebut mempunyai arti melakukan semedi, mengheningkan cipta dan berdoa untuk memohon ridha dan pertolongan Allah.
Bagi masyarakat Jawa, samadi merupakan aktivitas yang sudah umum dilakukan generasi tua untuk pengolahan jiwa, membersihkan jiwa dari yang negatif dan melakukan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Samadi akan menghasilkan jiwa yang bersih dengan keimanan dan kearifan yang tinggi.

3)     Keimanan pada Allah
       Nilai ini ditunjukkan oleh ungkapan tradisional sebagai berikut.

a.     Manungsa saderma nglakoni

Arti ungkapan tradisional tersebut adalah manusia sekedar menjalani. Manusia merencanakan dan berusaha, namun Allah yang menentukan semuanya. Masyarakat Jawa menyikapi fenomena kegagalan dari suatu usaha keras atau rencana dengan kepasrahan yang dalam. Kepasrahan tersebut disertai keimanan yang tinggi karena disebutkan dalam ungkapan tradisional berikutnya.

b.  Gusti ora sare

Allah tidak pernah tidur, Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang secara nyata maupun secara sembunyi. Orang Jawa meyakini bahwa Tuhan ada dimana-mana dan mengetahui yang baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia, mengetahui orang yang sudah melakukan perjuangan untuk kebaikan, pasti suatu ketika akan mendapat imbalan dari Allah. Prinsip keimanan ini diyakini orang Jawa mampu membuat kehidupan jadi tentram. Nilai-nilai tersebut mengandung sifat universal yang sesuai dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.

c.  Manunggaling kawula Gusti

Nilai tersebut bermakna kesatuan hamba dengan Tuhan. Ungkapan tradisional tersebut menjadi konsep yang banyak menjadi dasar penulisan karya-karya sastra suluk. Konsep ini sering disebut sebagai wahdatul wujud. Manusia yang sudah melakukan laku sampai tataran tertinggi akan dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam Suluk Wujil bahkan disebutkan tentang mistik cermin yang dimaknai bahwa orang yang telah sempurna perbuatan baiknya maka manusia tersebut akan memiliki sifat-sifat Tuhan. Olah karena itu, dengan keimanan yang tinggi maka manusia akan mampu untuk mencapai laku tertinggi dengan ibadah. Seperti halnya orang yang bercermin, bila cermin bersih akan mencerminkan semua keadaan benda/ orang yang bercermin. Konsep manunggaling kawula Gusti juga sering dimaknai sebagai konsep manunggaling rakyat dengan rajanya.

II.  Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Nilai ungkapan tradisional yang dapat dimasukkan dalam konsep tersebut adalah sebagai berikut.

a.   Realistis menghadapi kehidupan

1)   Asu rebutan balung
      Yang bermakna orang yang memperebutkan barang yang sesungguhnya tidak perlu diperebutkan. Oleh keadaan itu, maka diperlukan sikap realistis menghadapi kehidupan. Apabila sejak semula masyarakat tahu apa yang diperebutkan tentu tidak terjadi perebutan.

2)   Asu gedhe menang kerahe
       Orang yang mempunyai pangkat yang tinggi, tentu mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Oleh karena masyarakat harus bersikap realistis, bahwa masyarakat harus mau diatur dan tidak perlu cemburu, iri, dengki terhadap teman yang kebetulan menjadi penguasa/ pejabat di lingkungannya.

3)   Banyu pinarang ora bakal pedhot
       Pertengkaran saudara tidak mungkin akan memutuskan tali persaudaraan. Oleh karena itu, orang lain tidak perlu ikut campur karena justru akan merusak keadaan. Dengan sikap realistik menghadapi kenyataan dalam kehidupan, maka masyarakat dapat saling menghormati karena masyarakat menyadari kedudukan masing-masing.

b.   Introspeksi diri

1)   Becik ketitik ala ketara
       Yang bermakna perbuatan baik dan buruk pasti akan dapat diketahui kelak kemudian hari. Oleh karena itu, harus introspeksi diri terhadap perbuatan masing-masing.

2)   Kebat kliwat gancang pincang
         Ungkapan ini mempunyai makna bahwa bertindak terburu-buru pasti banyak orang tidak puas karena banyak kekurangan.
Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung pesan untuk selalu introspeksi diri agar selamat dan pekerjaan yang dilakukan bisa berhasil.
Adanya introspeksi dalam diri manusia yang merupakan anggota masyarakat dan pemimpinmaka tindakan dapat diukur. Adanya keseimbangan, akan terjadi keadilan dan masyarakat yang beradab.

c.    Tanggung jawab
     Ungkapan tradisional yang mempunyai nilai tanggung jawab anggota masyarakat terhadap sesama atau pemimpin pada anak buah terdapat pada ungkapan berikut.

1)   Anak polah bapa kepradah
       Yang mempunyai makna bahwa tingkah polah anak menjadi tanggung jawab orang tua. Oleh karena itu, anak dan orang tua harus saling mengendalikan diri dan orang tua member teladan serta modal yang baik untuk anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang bisa dibanggakan.

2)   Bawa leksana
       Arti ungkapan ini adalah menepati kata-kata. Orang Jawa mengajarkan agar manusia menepati janji yang telah terucap dan menjalankan komitmennya.
Konsep tanggung jawab tampak pada ungkapan tradisional tersebut, dengan menyadari adanya tanggung jawab tersebut maka orang hidup harus hati-hati dan waspada.

d.   Hati-hati dan waspada
          Ungkapan tradisional yang mengandung nilai hati-hati dan bersifat pepeling atau nasehat adalah sebagai berikut.
1. Blaba wuda
Yang mempunyai makna bahwa disebabkan oleh terlalu baik dan tidak pelit justru semua yang dimiliki diberikan sehingga barangnya menjadi  tidak bersisa.
2. Mbidhung api rowang
Ungkapan tersebut mempunyai makna seolah-olah ingin menolong namun sesungguhnya akan membuat persoalan.
3. Cedhak celeng boloten
Ungkapan tradisional ini mempunyai makna berdekatan dengan orang yang mempunyai perilaku buruk, maka akan ikut berpengaruh berperilaku buruk pula.
Orang Jawa mengajarkan bahwa hati-hati dan waspada dalam kehidupan membuat masyarakat mempertimbangkan semua yang akan dilakukan agar tidak meleset dari sasaran, tidak menyakiti orang, menimbulkan kenyamanan. Oleh karena itu, maka pemimpin yang melakukan kepemimpinannya dengan penuh perhitungan matang pasti juga akan menimbulkan kebaikan. Dapat disebutkan bahwa kehati-hatian dan kewaspadaan menjadikan bangsa lebih beradab.

III.  Persatuan Indonesia
1)  Nasionalisme
Menurut Ernest Renan (dalam Buletin Seni Budaya, 2007:6) menyebutkan bahwa nasionalisme adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama baik dalam pengorbanan maupun dalam kebersamaan. Sementara menurut Benedick Anderson, nasionalisme didefinisikan sebagai sebuah komunitas politik terbayang, semula dibayangkan dalam pikiran tentang sebuah komunitas selanjutnya diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam. Nasionalisme merupakan perasaan bersama yang menjadi ikatan dan solidaritas. Dalam ungkapan tradisional nasionalisme tampak pada:
a. Sabaya pati, sabaya mukti
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai makna semangat untuk bersama dalam keadaan apapun, diibaratkan kerukunan yang sampai terbawa mati.
b. Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi, mulat sarira hangrasa wani.
Ungkapan tradisional tersebut bermakna orang merasa ikut memiliki, merasa wajib membela, mencermati diri sendiri dan mawas diri.
c. Negara mawa tata, desa mawa cara
Yang berarti Negara mempunyai peraturan, desa memiliki adat-istiadat. Masyarakat Jawa mengajarkan bahwa setiap anggota     masyarakat harus memahami, menghormati adat-istiadat masing - masing. Dengan demikian akan tercipta harmoni. Pandangan masyarakat Jawa terkait dengan semangat dan solidaritas bersama bahwa masing-masing daerah mempunyai kekhususan yang akan dibawa maju bersama menjadi cita-cita konsep persatuan Indonesia.
d. Mangan ora mangan kumpul
Makna yang menarik diungkapan oleh Laksono (2007:16) yang menyatakan bahwa ungkapan Jawa seringkali mendua, arti yang paradoksal.
Ungkapan tersebut harus dilihat dalam konteks sejarah saat digunakannya ungkapan itu. Konon ungkapan tersebut merupakan semboyan perjuangan Raden Wijaya ketika dalam keadaan terjerat dan terkepung oleh tentara Tartar. Disebutkan makna ungkapan tersebut bahwa meski dalam keadaan serba kekurangan karena terkepung prajurit musuh, semangat nasionalisme ditumbuhkan melalui semboyan itu agar prajurit Majapahit tetap bersatu.
2)  Patriotisme konstruktif
       Staub dalam Buletin Seni dan Budaya (2007) menyatakan bahwa patriotisme dibagi dalam blind patriotism dan constructive patriotisme. Patriotisme buta adalah keterikatan kepada negara dengan tidak mempertanyakan segala sesuatu, tetapi loyal dan tidak toleran terhadap kritik. Patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan rakyat terhadap bangsa, namun tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Pemimpin tidak selamanya benar, bahkan sebutan orang tidak patriotis oleh seorang pemimpin bisa jadi berarti sebaliknya. Seorang layak disebut patriot adalah orang yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Adapun nilai-nilai patriotisme konstruktif dalam ungkapan tradisional adalah sebagai berikut.
a. Sadumuk bathuk, sanyari bumi, den lakoni tekan pati, pecahing dhadha wutahing ludira
Ungkapan tersebut mempunyai makna seberapa jangkauan bahkan sampai seluas bumi, apabila sudah berniat membela akan dibela sampai mati, pecahnya dada dan keluarnya darah. Jadi manusia Jawa mengajarkan bahwa kehormatan atau harga diri dari tanah air merupakan sesuatu yang sangat penting. Masyarakat sanggup membelanya dengan taruhan nyawa. Disatu sisi, ungkapan tersebut juga mengandung makna bahwa sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walaupun luasnya hanya selebar satu jari tangan.
b. Rawe-rawe rantas malang-malang putung
Ungkapan ini mengandung makna segala sesuatu yang menghalangi harus disingkirkan. Ungkapan ini menyiratkan adanya patriotisme konstruktif dimana masyarakat perlu mengusir musuh bersama-sama masa kini yaitu korupsi, kebodohan, dan kemiskinan. Untuk mengusir itu harus serius, sesuatu yang menghalangi harus dilawan atau disingkirkan.

IV. Kerakyatan yang Dipimpim oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
      Permusyawaratan Perwakilan
1. Tertib religi, sosial, dan kosmos
a. Aja nggege mangsa
Yang diartikan jangan mempercepat waktu. Ungkapan tersebut mengandung ajaran bahwa manusia menjaga tertib religi, sosial, dan kosmos agar segalanya berjalan melalui proses. Segala sesuatu yang dilakukan secara instan akan tidak tahan lama dan dapat berakibat buruk.
b. Memayu hayuning bawana
Artinya menjaga ketertiban dunia. Masyarakat Jawa mengajarkan dengan menjaga ketertiban dunia maka tidak ada eksploitasi lingkungan, terjadi saling menjaga. Selanjutnya kerusakan alam, pencemaran dapat dikurangi.
2.  Gotong royong

Ungkapan tradisional yang memiliki nilai tersebut adalah:
a. Sayuk rukun saiyeg saeka praya
 Yang artinya bersatunya perasaan antar individu, anggota masyarakat untuk satu tujuan. Ungkapan tradisional ini menjadi roh kegotong royongan masyarakat yang terwujud dalam kegiatan bersama, misalnya kerja bakti.
b. Gugur gunung
Ungkapan ini mempunyai makna kerja sosial yang harus dilakukan secara bersama-sama untuk menyelesaikan kerja fisik yang besar, sehingga diibaratkan seperti mau menghancurkan gunung.
Ungkapan tradisional tersebut kadang-kadang dipakai untuk kerja bakti memperbaiki fasilitas desa. Masyarakat Jawa mengajarkan konsep kegotong royongan untuk mengerjakan fasilitas milik masyarakat sendiri.

Nilai-nilai tersebut menyerukan masyarakat untuk melakukan tertib religi, sosial, dan kosmos. Nilai gotong royong merupakan nilai yang mengandung sifat universal.

V. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Pemimpin yang adil dan bijaksana:
a. Maju tanpa bala
Makna ungkapan tersebut adalah seorang pemimpin hendaknya berani bertanggung jawab dan berada di garda depan tanpa didampingi anak buahnya. Makna implisit yang ada di dalamnya adalah pemimpin harus bisa memayungi rakyat, bijaksana karena memikirkan rakyat, dan adil ketika memperlakukannya.
b. Raja gung binathara
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai makna raja besar (agung) seperti dewa. Raja yang agung adalah raja yang mendapatkan keagungan dari rakyat, karena kebijaksanaan, karisma, dan keadilan yang dimiliki sehingga kedudukan dan sifatnyaseperti dewa. 



No comments: